Sekolah kepamongprajaan di Indonesia telah ada semenjak Pemerintahan Hindia Belanda, itupun tidak semua orang dapat bersekolah di sekolah ini . hanya orang-orang dari kalangan tertentu saja yang dapat bersekolah disana.
Indonesia telah dijajah Belanda sekitar 3,5 abad lamanya & selama Pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, pada saat itu Pemerintahan Hindia Belanda memerlukan banyak orang orang pribumi untuk dijadikan pegawai pemerintahan .Oleh karena itu, pemerintahan Hindi Belanda mendirikan Perguruan Tinggi untuk mendidik para pegawai pribumi pada masa kekuasaannya di Indonesia.
Berdirinya perguruan Tinggi di nusantara memerlukan waktu yang cukup lama, dengan kata lain pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu tidak langsung mendirikan lembaga pendidikan tersebut (Perguruan Tinggi). Awalnya pemerintahan Hindia Belanda untuk kali pertamanya mendirikan semacam sekolah tingkat dasar..
Sekitar abad -19, pemerintahan colonial Hindia Belanda mulai berusaha menigkatkan pendidikan di Hindia Belanda. Tepatnya pada tahun 1845 gubernur jenderal J.C. Baud mengusulkan untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi kalangan elit penduduk pribumi yang kemudian baru menjadi kenyataan beberapa tahun sesudahnya. Tahun 1852, pemerintahan Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk guru pribumi (kweekschollen) dan satu sekolah kedokteran (Dokter Jawa-schollen). Karena baru ada 20 sekolah dasar untuk anak-anak pribumi, pada umumnya yang dapat memasuki lembaga pendidikan di atas hanyalah mereka yang telah menerima pelajaran privat dari guru-guru Belanda atau mereka yang telah europeese lugere school (SD Eropa) di Hindia Belanda. Setelah itu tahun 1864, membuka pintu bagi anak-anak pribumi untuk belajar di lembaga pendidikan tersebut.
Dalam sejarah pendidikan pamong praja, pendidikan pamong praja pada jaman Hindia Belanda dikenal nama sekolah dengan nama seperti OSVIA, MOSVIA, dan MBS.
Pada mulanya, pemerintahan Hindia Belanda membangun perguruan tinggi pertama di Indonesia yang berada di pulau Jawa. Pada tahun 1878, telah didirikan sekolah pimpinan pemerintahan (Hoofden-schollen). Pada mulanya sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak kaum bangsawan (elite) tetapi kemudian menjadi lembaga pendidikan para pegawai pemerintahan pribumi atau ambtenar yang pada masa itu lebih dikenal sebagai sekolah pangreh praja dan hanya mendapat akreditas A saja.
Pada tahun 1879 di Bandung, pemerintahan Hindia Belanda mendirikan Opleidings-school Voor Indlandsche ambtenaren (OSVIA) yang pendidikannya selama lima tahun. Saat itu kalangan penduduk pribumi menyebutnya sebagai “Sukola Menak” maklum, murid sekolah itu adalah anak para priyayi sepeti bupati, patih dan wedana. Murid OSVIA adalah lulusan sekolah dasar atau disebut juga HIS. Setelah OSVIA, Belanda juga kemudian membuka Middlebare Besture School atau MBS yang bertempat di kota Malang-Jatim.
Indonesia adalah Negara yang beraneka ragam dan berkepulauan. Budaya yang bermacam-macam dengan adapt masing-masing membuat Negara ini memiliki kebudayaan nasional yang tinggi.
Pemimpin-pemimpin daerah sangat dibutuhkan demi kemajuan daerah masing-masing dan untuk menciptakan kader pemerintahan yang mempunyai pendidikan ilmu pemerintahan ditambah dengan pengalaman dalam praktek kepemimpinan pemerintahan dan sebagai kebutuhan bangsa Indonesia sendiri, kemudian tepatnya tanggal 1 Maret 1956 di Malang Jatim berdasarkan SK Mendagri No. Pend. 1/20/565 tanggal 24 September 1956 didirikanlah pertama kali sekolah kepamongprajaan secara rsmi oleh Depdagri yaitu Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) dengan direktur pertamanya Dr. Raspio Woerjadiningrat yang diresmikan oleh presiden RI Ir. Soekarno. Dan karena belum ada yang menampung untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi setelah lulus dari APDN maka perlu pengisian aparatur pemerintahan pusat dan daerah yang memiliki ilmu pemerintahan yang modern dan professional, oleh karena itu tanggal 25 Mei 1967 APDN diubah menjadi Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP ) yang pada akhirnya IIP malang dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1971.
Kebutuhan akan tenaga aparatur pemerintahan tiap daerah sangat pesat, maka sejak tahun 1965 satu demi satu didirikan APDN diberbagai provinsi dan pada tahun 1970 telah berdiri APDN diseluruh nusantara dengan lokasi sebagai berikut, Banda Aceh, Medan, Bukit tinggi, Pekan baru, Jambi, Palembang, Tanjung karang, Bandung, Semarang, Malang, Mataram, Kupang, Ujung Pandang, Menado, Pontianak, Banjar masin, Palangkaraya, Samarinda, Ambon dan Jayapura. Namun ternyata kehadiran APDN di dua puluh provinsi mengundang banyak kontroversi dari berbagai kalangan, di mana muncul anggapan bahwa kualitas dan profesionalisme lulusan APDN daerah tidak merata dan tidak seimbang diakibatkan tidak samanya kualitas pendidik dan tideak meratanya sarana dan prasarana pendukung bagi pelaksanaan pendidikan kedinasan. Sampai dengan tahun 1991 yaitu tahun alumnus terakhir dan berakhirnya opereasi APDN dinusantara telah menghasilkan 27710 alumnus APDN yang penempatannya tersebar di 27 provinsi dan untuk menyamakan pola pendidikan APDN dikeluarkanlah Kep Mendagri No. 38 Tahun 1988 tentang pembentukan APDN yang bersifat nasional yang dipusatkan di Jatinangor, Sumedang, jawa barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar